Membincang Nasib Bissu dan Arajangnya
REP | 03 December 2011 | 22:50
Saya sudah lama mengenalnya dan di setiap perjumpaan dengannya, saya selalu terkesan dengan keramahannya. Sangat familiar dan rendah hati. Jabat erat tangannya tulus dan bersahabat. Hari Jum’at kemarin (2/12), saya bertemu dengannya di Kantor Bupati Pangkep. Saat pandangan kami bertemu, ia tersenyum dan berjalan ke arah saya naik tangga. Saya mempercepat langkah menuruni tangga dan kami bersamaan saling menjabat tangan. Setelah bercipika cipiki, ia menanyakan kabar, “Bagaimana kabarnya dinda ?”. “Baik, Puang”, jawab saya. “Saya sudah nonton videonya. Komentarta tentang Bissu, bagus”, ujarnya. “Iye, terima kasih Puang”, balas saya. “Tapi itu, kenapa Puang Upe’ (Pemangku sementara Puang Matoa Bissu, red) berkomentar bahwa pemerintah tidak ada perhatian”, ungkapnya. Saya hanya menanggapinya dengan senyum sambil berjalan berdua menuruni tangga.
Pembicaraan singkat kami terputus karena kesibukannya, “Saya mau ke Bappeda, dinda. Kita mau kemana ?” tanyanya. “Saya mau ke Terminal, Puang, ambil langganan Koran”, jawab saya. Kami pun jalan bertiga, bersama staf yang mengiringinya di koridor ruangan Bagian Keuangan Setdakab Kantor Bupati setempat dan berpisah di depan kantor BKDD. “Saya duluan, Puang”, pamit saya. “Iye”, jawabnya singkat seraya meneruskan jalan kakinya menuju Kantor Bappeda yang berada di lantai 2, diatas Kantor BKDD.
Orang yang saya ceritakan ini adalah Drs Rahman Assegaf, MI.Kom, orang nomor dua di Kabupaten Pangkep. Posisinya sekarang sebagai Wakil Bupati (Wabup), tak menghilangkan ciri khasnya, yaitu warung kopi dan keramahannya yang menghangatkan. Beliau setidaknya menjadi ikon birokrat low profile dengan keramahan yang mengesankan. Masyarakat Pangkep mengenal beliau sebagai orang yang rendah hati dan sangat bersahabat. Senyumnya tak pernah lepas menyapa siapa saja. Kepadanya saya berharap bakal ada perubahan yang lebih baik terhadap masa depan Bissu dan nasib arajang (pusaka) yang dimiliki komunitas “waria sakti” dari peradaban Bugis kuno ini, apalagi beliau pernah menjabat sebagai Camat Segeri, tempat dimana komunitas Bissu bermukim.
* * *
Tulisan Sebelumnya : Siapakah Yang Layak Menggantikan Puang Matoa Bissu Saidi
Sepeninggal Puang Matoa Bissu Saidi, perubahan yang nampak memprihatinkan dari komunitas Bissu bukan hanya menyangkut menurunnya intensitas kegiatannya, tetapi juga semakin berkurangnya pusaka yang ada di Bola Arajang (Rumah Pusaka) Bissue di Segeri. Hal ini terlihat saat penyelenggaraan Upacara Adat Mappalili (Turun Sawah) beberapa waktu lalu di Segeri. Upacara tahunan yang biasanya berlangsung sangat meriah ini, tahun ini tidak semeriah tahun – tahun sebelumnya. Pengurus Lembaga Adat Segeri, Andi Herman kepada penulis mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya adalah memprihatinkannya kondisi arajang Bissu.
Pusaka (Bugis : Arajang, Makassar : Kalompoang) sangat penting artinya bagi Bissu. Kelengkapan arajang dianggap sebagai salah satu syarat sempurnanya upacara adat yang dilaksanakan dan saat ini beberapa arajang Bissu itu dinyatakan hilang atau tidak berada di Bola Arajange’ di Segeri. Pemangku sementara Puang Matoa (pemimpin tertinggi) komunitas Bissu, Puang Upe’, yang sangat menyadari pentingnya Arajang itu nampak kurang bersemangat ketika diperhadapkan pada permintaan masyarakat menggelar ritual tertentu, termasuk Maggiri’, seni tari tradisional khas Bissu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar