#header img { max-width: 99%; max-height:90%; margin:1px 1px;padding:0px;} .post img { vertical-align:bottom; max-width:90%; max-height:90% } #navigation img { vertical-align:bottom; max-width:80%; }

Kamis, 27 Februari 2014

Bissu sebagai Gender Kelima

Menyoal Bissu sebagai Gender Kelima

HL | 14 February 2012 | 06:15 Dibaca: 1173    Komentar: 20    4

1329198827994379272
Pemangku sementara Puang Matoa Bissu, Puang Upe didampingi Bissu Wa' Matang.
BANYAK penulis dan jurnalis memiliki kepedulian terhadap komunitas “waria sakti” Bissu dari Tanah Bugis. Tulisan yang lahir tentang Bissu begitu beragam, ada yang menulis penguasaan Bissu terhadap epos La Galigo dan keterlibatannya dalam Teater Kontemporer La Galigo, kecerdasannya berbahasa bugis kuno dan membaca lontaraq, seni tari “maggiri”nya yang membuat seorang Bissu tidak mempan senjata tajam, kemampuannya meramal dan mengobati, kontroversi mengenai gendernya, perilaku sosial dan ketaatannya dalam menjalankan adat (Pangngaderreng).
Sebagai mantan jurnalis yang memiliki kedekatan dengan komunitas Bissu yang memusatkan aktifitasnya di Segeri Pangkep, pun saya banyak menulis tentang Bissu bahkan beberapa catatan saya tentang Bissu di media sosial blog kompasiana seringkali menjadi rujukan (baca : dicopas) oleh blogger untuk konten budaya di blognya.  Bissu bagi sebagian kecil orang merupakan komunitas eksklusif, hanya dapat dipahami dengan cara tertentu dan dalam waktu yang lama, karena itu sangat menyedihkan tentunya tulisan – tulisan copas tentang Bissu yang lahir hanya dari review tulisan orang lain tanpa mengenal dan melihat aktifitas langsung dari komunitas Bissu itu sendiri.
13291990831192952402
Puang Upe
Sebagai komunitas unik dan langka, Bissu tidak cukup dipahami dengan berhadapan langsung dengan Bissu itu sendiri. Ketika diwawancarai, seorang Bissu cenderung untuk menutup informasi terkait libido dan perilaku seksualnya. Malahan beberapa diantaranya menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang tabu untuk dibicarakan, apalagi kepada seseorang yang baru dikenalnya. Itulah sebabnya tesis tentang gender kelima, “Bissu”, sukar untuk dipahami dan diterima dengan logika. Meski begitu, hampir semua pemerhati budaya, jurnalis dan peneliti mengamini pendapat bahwa dalam masyarakat Bugis dikenal lima gender, yaitu : Urane (laki – laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki – laki yang keperempuanan, waria), calalai (perempuan yang kelaki – lakian), dan Bissu (tak bergender atau tidak jelas gendernya).
1329199207140506571
Puang Upe
Salah seorang peneliti yang mempopulerkan Bissu sebagai “gender kelima” adalah Sharyn Graham, peneliti dari University of Western Australia.  Bissu yang umumnya berangkat dari kondisi waria (calabai) ternyata tak bisa sepenuhnya lepas dari kondisi kewariaannya, begitu pula pergaulannya. Itulah sebabnya dalam beberapa tulisan soal gender kelima ini, saya menganggap ada “disconnect” soal tesis tentang gender kelima ini. Informasi tentang latar belakang sosial, sikap dan perilaku Bissu dapat diketahui dari kawan – kawan sepergaulannya dari komunitas waria (calabai). Bissu tidak hanya bergaul dengan sesamanya Bissu, tetapi diluar tradisi kebissuannya malahan lebih banyak bergaul dengan waria.
Intinya, Bissu tidak “sesuci” seperti yang selama ini banyak ditulis peneliti. Informasi tentang pergulatan psikologis dan perilaku seksualitas menjadi tertutup karena umumnya peneliti hanya fokus pada Bissu itu sendiri, kesetiaannya berbudaya sebagaimana konsep “atturiolong” (tata cara leluhur), seni tari maggiri-nya, kemampuannya berbahasa bugis kuno dan membaca lontaraq, pusaka bissu, dan lain sebagainya. Meski ketahanan masing – masing Bissu berbeda – beda dalam menghadapi godaan perilaku seks menyimpang, namun paling tidak tesis bahwa Bissu sebagai “manusia suci” yang terhindarkan dari perilaku seks menyimpang harus dimentahkan karena hal tersebut tidak berlaku umum dan permanen.
13291993491147217440
Puang Matoa Bissu Puang Upe' dihadapan para peneliti.
Bagaimanapun, Bissu adalah tetap manusia biasa. Secara kodrati, manusia “ditakdirkan” dilahirkan hanya dalam dua gender, laki – laki (bugis : urane) atau perempuan (bugis : makkunrai). Apakah ia nantinya menjadi calabai (sebutan bugis bagi waria, laki – laki yang keperempuanan) atau calalai (sebutan bugis bagi perempuan yang kelaki-lakian) itu lebih disebabkan karena pengaruh faktor lingkungan yang membentuknya. Ini tentunya memerlukan pembahasan tersendiri, namun yang jelas tidak ada seorangpun anak manusia yang terlahir sebagai calabai dan calalai.
13291994661261184002
Bissu Wa' Matang dan Puang Upe'.
Kondisi Bissu bukanlah suatu kondisi yang permanen, ia merupakan pilihan hidup bagi orang yang merasa “panggilan hidupnya” menjadi Bissu. Kebissuannya bisa terkotori ketika banyak hal yang tidak sepantasnya ia lakukan kemudian ia perbuat dengan sadar. Pada kondisi seperti itulah, Bissu seharusnya secara sadar harus mengundurkan diri sebagai Bissu karena telah menodai tradisi kebissuan yang seharusnya dijaganya, namun banyak hal saya dapati kenyataan seseorang menjadi Bissu ketika ia dalam kondisi kejiwaan dan spiritualitas Bissu menyatu dalam dirinya. Pada saat dalam kondisi demikian, Bissu bukanlah waria biasa, tetapi “waria sakti” yang lahir dari peradaban Bugis kuno. Pada saat tidak demikian, ia hanya waria biasa yang bisa tergoda dan digoda sebagaimana waria pada umumnya. (*).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar