#header img { max-width: 99%; max-height:90%; margin:1px 1px;padding:0px;} .post img { vertical-align:bottom; max-width:90%; max-height:90% } #navigation img { vertical-align:bottom; max-width:80%; }

Kamis, 27 Februari 2014

Aji Susan tentang Bissu

Aji Susan tentang Bissu

REP | 13 July 2011 | 16:26 Dibaca: 225    Komentar: 6    1

13105315181138098473
Puang Matoa Bissu Saidi (alm) semasa hidupnya dalam suatu acara adat. (foto : mfaridwm)
Karena rambut sudah panjang, saya menyempatkan singgah cukur di salon langganan dekat rumah, namanya Salon Susan, kemarin (12/7). Salon ini milik Aji Susan, ketua komunitas waria di Minasate’ne. Tak seperti kebanyakan waria pada umumnya, Susan (nama sebenarnya adalah Sansu namun karena menyadari kelainan pada dirinya yang lebay akhirnya dia balik saja namaya menjadi Susan) adalah waria yang ‘taat beragama’, paling tidak itu ditunjukkan dengan predikat Aji (Baca : Haji) di depan namanya dan setiap saat saya ketemu jum’atan di masjid.
Sewaktu Puang Matoa Bissu Saidi berpulang, Aji Susan juga turut hadir bersama anggotanya sesama waria, bahkan boleh dibilang kehadiran puluhan waria itu cukup mewarnai ratusan pelayat saat Pemimpin Bissu itu akan dikebumikan, 28 Juni lalu.Ternyata Aji Susan mengetahui banyak rahasia para anggota Bissu, termasuk ‘perselingkuhan’ mantan Bissu Eka dengan seorang To Boto-nya bernama Rustam dan perselisihannya dengan Puang Matoa Bissu Saidi (alm). Kehadiran To Boto dalam kehidupan Bissu sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat sekitar tempat Bissu bermukim.
Aji Susan kesehariannya bekerja di Salonnya, dia juga melakoni profesi ‘traditional event organizer’ seperti merias pengantin dan menata lamming (pelaminan) pengantin Bugis Makassar, suatu profesi yang juga lazim dilakoni anggota komunitas Bissu saat tidak menghadiri undangan upacara adat. Namun Aji Susan tak ingin masuk dalam wilayah Bissu, karena menurutnya, “Anjo Bissua appa’ruai” (Makassar : Itu Bissu menduakan Tuhan). Tidak mungkinlah Bissu itu mendapatkan kekuatan kebal saat maggiri’ (seni tari ala Bissu) kalau tidak ada campur tangan syetan atau jin dalam pementasannya. “Mallaka nakke gang, gappaka nikaluppai sambajanga”, ujarnya. (Makassar : saya takut gang, nanti kita melupakan sembahyang).
Demikianlah Aji Susan, dari pernyataannya kita tentu dapat menilai bahwa meskipun kondisi fisiknya lebih kepada waria (calabai) namun ia boleh jadi adalah waria yang juga bukan sembarang waria kebanyakan, ia tentu seorang waria yang taat beragama di saat banyak waria lebih mengedepankan seksualitas dan sensualitas sesamanya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar