Komparasi Tu Manurung Perspektif Lontara Bugis-Makassar dengan Paradigma Sosiologi Thomas Kun
OPINI | 30 September 2013 | 08:13
Dalam tulisan Tu Manurung Part I saya telah memaparkan empat sudut pandang Tu Manurung. Pada kesempatan ini saya akan mencoba untuk mengkomparasikan salah satu perspektif Tu manurung dengan paradigma sosiologi Thomas kun yaitu Tu Manurung perspektif lontara. Sebelumnya saya akan mengutip kensesus dalam Lontara’ antara Tu Manurung dengan rakyat yang diwakili oleh matoa.
Rakyat : anginlah engkau dan kami daun kayu
Kemana engkau berhembus kesana kita serta
Kehendakmu, menjadi kehendak kami pula,
Apa nian titahmu, kami junjung
Perintahlah kami penuhi,
mintalah dari kami, dan kami akan memberimu,
engkau menyeru, kami dating
terhadap anak isteri kami yang engkau celah
kami pun akan mencelahnya,
akan tetapi pimpinlah kami
kearah ketentraman, kesejahtraan, dan perdamaian.
Tu Manurung : kami menjujungnya,
Keatas batok kepala
Janjimu hai orang banyak,
Kami tempatkan dalam rumah keemasan kemuliaan janjimu
Ketika ini, engkau bersatu padu menerima kami
Sebagai RAJA-mu.
Konsesus ini merupakan batasan Hak dan Kewajiban antara Raja dalam hal ini Tu Manurung dengan rakyat.
Paradigma Sosiologi Thomas Kun
“Paradigma I – Normal Sience – Anomali – Krisis – Revolusi – Paradigma II”
Thomas kun melihat bahwa dalam waktu tertentu institusi sosial didominasi oleh satu paradigma tertentu, yaitu suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan dalam sebuah masyarakat.
Paradigma I yaitu paradigma yang mendominasi dimana kecenderungan pola pikiran, prilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh paradigma dominan. Normal sience dimana integritas paradigma dominan dalam masyrakat berjalan normal. Sedangkan anomali ketika terjadinya penyimpangan yang menyebabkan pertentangan, dikarenakan paradigma dominan dalam ruang lingkup paradigma I dan normal sience tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai terhadap persoalan-persoalan yang timbul. Ketika penyimpangan terjadi terus menerus maka pada suatu kondisi penyimpangan tersebut akan memnuncak, maka suatu krisis akan timbul dan paradigma dominan itu sendiri mulai disangsikan validitasnya. Bila krisis sudah demikian seriusnya maka titik puncak krisis tersebut akan terjadi revolusi, dan memuncukan paradigma baru sebagai solusi yang mampu menyelesaikan penyimpangan yang terjadi pada paradigma sebelumnya. Jadi revolusi ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar terjadinya transisi paradigma dalam masyarakat, ketika paradigma dominan mulai menurun pengaruhnya dan digantikan oleh paradigma baru yang lebih dominan.
“Komparasi”
Sebelum kedatangan Tu Manurung masyarakat bugis-makassar terbagi atas kelompok-kelompok yang dipimpin oleh matoa atau Appang seperti saya jelaskan pada Tu Manurung Part I. Kelompok tersebut bersifat homogen garis keturunan mereka masing-masing berbeda. Misalnya kelompok 1 ; berasal dari keturunan A dan B, kelompok 2 ; C dan D pada dasarnya tidak ada pernikahan antara anggota kelompok 1 dan 2 akan tetapi keturunan merekalah masing-masing yang saling menikahi dan hubungan antara anggota dalam kelompok merupakan hubungan isomorfis satu sama lain, inilah Paradigma dominan yang mempengaruhi pola pikiran, prilaku masyarakat pra Tu Manurung disebut dengan Paradigma I.Integritas anggota dalam satu kelompok merupakan kondisi Normal Sience. Ketika terjadi penyimpanagan yaitu ‘sianre bale’ yang dikarenakan paradigma dominan tidak bisa memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat, kondisi ini disebul Anomali. Dengan terjadinya anomali maka kisruh sosial tidak bisa dihentikan karna penyimpangan terjadi terus menerus dimana anggota kelompok saling memangsa satu sama lain begitu pula antara kelompok satu dengan kelompok yang lain saat penyimpangan klimaks maka akan menyebabkan krisis. Pada titik puncak krisis akan terjadi revolusi disilah kehadiran sosok Tu manurung sebagai solusi dan membentuk paradigma baru (paradigma II) Tu Manurung merupakan syarat transisi paradigma I ke paradigma II.
Jadi kesimpulan saya Perspektif Tu Manurung Lontara merupakan dialektika sosial yang dinamis. Transisi paradigma dominan dalam masyarakat bugis-makassar akan terus berubah ketika terjadi Anomali – Krisis – Revolusi, kemudian melahirkan paradigma baru. Seperti yang kita lihat kondisi sekarang dimana Era Tu Manurung digantikan dengan Era demokrasi. Walaupun terjadi dekontekstualisasi transisi paradigma Tu manurung dengan Demokrasi. Ini akan saya bahas pada tulisan Tu Manurung Part berikutnya.
“Haeruddin Syams Masagenae”
http://coretantumasagenae.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar